Kenangan Buku Anak

Sebenarnya tak ingin memulai dengan kalimat klise ini. Namun, benak saya terus berkata, “Wah, lama sekali tak nulis di blog ini.”

Hari ini bertepatan dengan kelahiran penulis asal Denmark, H.C. Andersen, yang setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Buku Anak Internasional. 2 April 1805 adalah tanggal kelahirannya. Almarhum termasuk salah satu penulis dunia yang sangat prolifik dalam membuahkan karya tulis, khususnya dongeng anak (fairy tales). Maka, tak heran bila kini tanggal kelahirannya ditetapkan sebagai peringatan Hari Buku Anak Internasional.

Bicara tentang hari buku anak, ingatan saya langsung terlempar ke masa silam. Sejak masih sekolah dasar, buku dan bacaan anak sudah seperti sahabat karib. Membaca memang jadi salah satu aktivitas pengisi waktu yang paling saya gandrungi saat itu.

Tapi jangan dibayangkan buku-buku cerita yang saya baca saat itu sekelas karya-karya H.C. Andersen atau Roald Dahl. Saya memulai petualangan bersama buku di tengah suasana pedesaan, di kecamatan Langensari, kabupaten Ciamis. Saya cukup beruntung karena saya dapat mengakses buku sejak dini berkat orang tua saya yang bekerja sebagai tenaga guru di sekolah dasar. Saya masih ingat bagaimana saya mulai menikmati aktivitas membaca ketika menunggu orang tua selesai mengajar di ruangan perpustakaan sekolah.

Pada awalnya, saya membaca majalah-majalah yang ada di perpustakaan. Saat itu, majalah yang paling saya sukai adalah majalah Si Kuncung dan Mangle. Merasa tak cukup dengan membaca majalah, saya pun mulai dikenalkan oleh orang tua dengan cara meminjam beberapa judul buku anak dari perpustakaan untuk dibaca kembali di rumah. Sayang sekali kini saya lupa judul-judul buku yang saya baca saat itu. Yang pasti, saat itu buku-buku cerita anak yang saya baca kebanyakan terbitan departemen pendidikan.

Setelah saya pindah dan tinggal di kecamatan Banjar pada usia delapan tahun, barulah perkenalan saya dengan buku-buku terbitan Gramedia dimulai. Beberapa bacaan yang menjadi kesenangan saya hingga berusia remaja di antaranya:

  1. Majalah Bobo;
  2. Serial Lima Sekawan, karya Enid Blyton;
  3. Alfred Hitchcock & Tiga Orang Detektif;
  4. Goosebumps, karya R.L. Stine;
  5. Komik Dragon Ball Z, karya Akira Toriyama;
  6. Kungfu Boy, karya Takeshi Maekawa; hingga
  7. Seri Wiro Sableng, karya Bastian Tito.

Sebenarnya, bila saya tinggal di perkotaan, semestinya lebih banyak lagi buku yang bisa saya akses. Biar bagaimanapun, saya tetap merasa beruntung bisa memulai aktivitas membaca buku sedari dini.

Anyway, Selamat Hari Buku Internasional!!

Hijrah dan Ide-ide Curah (1)

Genap sebelas bulan lamanya postingan di blog ini berhenti tercurah. Setelah sabtu lalu (24/11/18) kepala saya diasah lagi lewat pelatihan jurnalistik, kini saatnya meneruskan postingan di sini. Lagi pula, kepala saya serasa mau pecah. Disesaki ide-ide curah.

Kebetulan, sore ini wilayah Langensari masih diselimuti hujan tipis-tipis. Sehingga niat untuk menaiki Spacy hitam milik istri saya harus tertunda. Untungnya lagi, anak sulung saya aman bersama neneknya di Banjar. Jadilah kesempatan langka ini bisa dimanfaatkan.

Oia, baru saja rekan se-kantor mengeluhkan kuota data miliknya yang sudah habis. Syarif, karyawan magang baru di kantor, sebagaimana halnya saya yang hanya tiga bulan lebih dulu bergabung di KSPPS Al Uswah cabang Langensari.

“Anak sekarang kehabisan data kayak kehabisan iman. Gelisah!” Timpal saya padanya.

Sesaat saya perhatikan jarum jam di dinding kanan atas tempat saya duduk, rupanya hampir pukul setengah lima sore. Saya rasa tulisan ini takkan bisa saya selesaikan di kantor.

Sebelum saya tutup jendela postingan ini, saya ingin sampaikan terlebih dahulu. Pada postingan kali ini, saya akan menceritakan lika-liku hijrah yang saya beserta keluarga jalani. Lainnya, mungkin akan mengalir sebagaimana tulisan yang lalu-lalu.

 

Langensari, 26/11/2018

Bersambung…………………….

Maafkan Ayah ya, Nak

Tadi malam Ayah merasa sangat dicintai olehmu, Nak. Ayah tak mengira kamu memiliki empati yang begitu dalam terhadap Ayah. Memang, semalam suhu badan Ayah naik, mungkin karena pada malam sebelumnya terpaksa begadang karena kamu baru mau tidur setelah lewat tengah malam. Tapi, Ayah tak menyangka bila semalam kamu memeluk dan menangis untuk Ayah.

Pagi ini, rupanya kondisi Ayah membaik, namun justru suhu tubuhmu yang gantian meninggi. Menjelang siang, Bunda rupanya membawamu ke RS, sementara Ayah terpenjara di kantor. Tak berapa lama, Bunda memberi kabar yang kurang baik. Ternyata, dokter memberi penilaian bahwa kamu mengidap penyakit Asthma. Saat itu, Ayah hanya bisa terdiam mendengar kabar dari Bunda.

Namun, sekarang Ayah sadar. Penyakit itu mungkin bisa saja menghalangi sebagian mimpimu, Nak. Ayah ingat, betapa suatu saat nanti kamu ingin ke Eropa dan melihat saljunya dengan matamu sendiri. Lalu, kamu juga sangat bersemangat dengan kegiatan fisik, seperti olahraga. Mulai saat ini, Ayah sadar bahwa langkah untuk mewujudkan mimpimu tak akan mudah di masa depan.

Ini juga sepertinya salah Ayah, hingga kondisi tubuhmu seperti saat ini. Bukankah seharusnya Ayah bisa melindungimu dari hal-hal buruk? Namun, Ayah rupanya gagal terlalu cepat.

Tapi, Ayah berjanji padamu, Nak. Ayah tak akan mudah menyerah untuk membantumu mewujudkan mimpimu. Ayah yakin ada sesuatu di luar sana yang bisa menjadi jalan untukmu mengejar mimpimu. Ketahuilah Nak, Ayah juga sangat mencintaimu. Semoga!

Hari Istimewa dan Namamu

Akhirnya penantian lahirnya anak kedua mencapai puncaknya, saat Kamis malam (30/11/17) pukul 22.37 WIB yang bertepatan dengan 12 Robiul Awal 1438 H, sang buah hati terlahir dengan sempurna. Kini, sang bayi cantik tinggal kami beri nama. Sebuah nama telah saya bisikkan tadi di telinganya, tinggal saya bercerita di sini demi ingatan tentang pemilihan namanya.

welcome baby girl

Saya pernah posting di sini bahwa saya telah memiliki persiapan nama untuk anak kedua saya. Namun, segera setelah kelahirannya, saya segera menyadari untuk menunda sejenak untuk mengumumkan nama pemberian saya. Selain karena anak kedua saya terlahir dengan jenis kelamin perempuan, ia juga ditakdirkan terlahir bertepatan dengan malam tanggal 12 Robiul Awal yang bertepatan dengan maulid nabi Muhammad SAW. Sehingga, insting saya mengatakan kemungkinan akan banyak orang, terutama keluarga, yang “berlomba-lomba” memberi usulan nama. Memang tak lama berselang, itulah yang terjadi.

Karena saya tak ingin mengecewakan mereka dengan terburu-buru menetapkan nama pemberian dari saya sebagai nama anak kedua kami, dan juga karena saya masih menghormati kepedulian mereka kepada anak kedua saya, maka saya putuskan untuk menunda barang sehari dua hari untuk mengumumkan nama anak kedua saya. Saya katakan, bahwa saya akan menampung semua usulan nama, sampai waktunya saya memutuskan nama anak kedua saya.

Bermacam nama yang bagus artinya dan indah susunannya disodorkan oleh keluarga besar kami, baik keluarga saya maupun istri. Semua usulan saya sungguh hargai. Namun, saya memiliki pilihan sendiri yang telah lama saya persiapkan, dan oleh karena itu lebih layak saya perjuangkan.

Saya merasa hari, tanggal maupun bulan kelahiran anak saya, kapanpun mereka ditakdirkan terlahir pastinya sangat istimewa bagi saya. Entah mereka terlahir di hari kelahiran (maulid) nabi, maupun hari lain yang tak berhubungan dengan orang-orang besar dalam sejarah. Singkatnya, saya takkan menamai anak saya semata karena waktu kelahirannya.

Saya juga takkan menamai anak saya dengan menyandarkan pada sosok orang lain, baik ia orang besar maupun orang biasa. Saya akan membiarkan anak saya tumbuh dan berjuang dalam hidupnya dengan nama istimewa hasil kerja keras ia sendiri, bukan karena bayang-bayang kesuksesan orang lain.

Tapi, saya akan menamai anak saya dengan sebuah nama yang mengandung doa yang baik dan mengandung ikatan batin antara saya dan anak saya. Seperti bagaimana saya menamai Si Sulung lima tahun yang lalu. Semoga ikhtiar saya akan berbuah manis kelak berupa terwujudnya sosok anak yang penuh kebajikan sebagaimana saya sandangkan dalam namanya.

 

Pondok Benda, 02/12/17 08.55 WIB

Setelah Lama….

Pagi tadi baca-baca laporan BPS Kota Banjar. Saya baca sedikit saja sih, tak sempat mendalam. Ada hal yang menarik bagi saya dari data itu. Kota kelahiran saya itu ternyata jumlah penduduknya hanya sekitar 200 ribu jiwa (lebih sedikit). Sebenarnya tidak terlalu mengherankan, mengingat kota ini hanya terdiri dari empat kecamatan; Banjar, Langensari, Pataruman dan Purwaharja. Tapi tetap saja, angka 200 ribu jiwa itu cukup menarik bagi saya.

Hal menarik yang pertama, dari total penduduk 200 ribu jiwa ternyata kepadatan tertinggi ada di pusat kota, yaitu Kecamatan Banjar. Kecamatan Banjar yang luasnya hanya lebih kurang 26 kilometer persegi dihuni oleh sekitar 58 ribu jiwa. Ilustrasinya, bila dirata-ratakan tiap kilometer persegi di kecamatan ini dihuni oleh 2.200-an jiwa penduduk.

Hal yang kedua, saya bukan sok tahu, tapi rasa-rasanya dengan jumlah penduduk hanya 200 ribu-an jiwa saja, kota ini perlu lebih terbuka dengan “dunia luar”. Untuk membangun daerah yang sempit dan jumlah penduduk yang juga sedikit ini tidak cukup hanya dibangun oleh penduduk lokalnya. Pemerintah daerah perlu membuka akses seluas-luasnya untuk keterlibatan warga daerah sekitar untuk membangun Kota Banjar. Misal, industri padat karya di daerah perlu dirangsang untuk tumbuh, dengan ditopang oleh sumber daya manusia dari warga daerah sekitar. Sementara itu, sumber daya manusia para penduduk lokal dapat dimaksimalkan dengan membuka akses pendidikan secara merata dan setinggi-tingginya. Penduduk Kota Banjar boleh saja hanya sedikit, tapi mereka jelas harus pintar, beradab dan berpendidikan tinggi.

Yang ketiga, kota kecil ini sangat mampu untuk menyerap partisipasi masyarakat sebesar-besarnya dalam pembangunannya. Saya rasa tak akan sulit untuk mengumpulkan puluhan ribu orang setiap bulannya untuk menyerap aspirasi dan mendengarkan permasalahan sehari-hari mereka. Setelah itu, pemerintah dapat meminta komitmen seluruh warganya untuk bahu membahu membangun kotanya.

Inilah kira-kira gambaran yang terlintas di benak saya setelah membaca laporan BPS tadi. Yah, hanya sekedar berbagi keresahan saja sebenarnya. Apalagi rasanya kok sudah lama sekali saya belum posting di blog ini. Mohon kiranya dimaafkan. Hehehe
Pancoran Mas, 16/11/17 11.48 WIB

My September Wish (Part 2: End)

Ada banyak harapan yang saya rencanakan agar terwujud sejak memasuki usia tiga puluh dua ini. Yang pertama tentu saja agar ibunda selalu dalam keadaan sehat dan dalam perlindungan Tuhan.

Dari sekian banyak orang yang sempat saya kecewakan, beliaulah yang kerap harus menelan ludah melihat kelakuan anak sulungnya ini. Bahkan, tak jarang air matanya sampai membanjiri wajahnya gara-gara ucapan dan tingkah laku saya. Oleh karenanya, saya sungguh berharap ibunda yang akrab saya panggil Mom agar tetap sehat wal afiat, dan semoga saya masih membuat guratan senyum dari wajahnya berkembang kembali.

Berikutnya saya berharap agar pada persalinan yang kedua nanti, istri saya diberikan kekuatan sebelum dan sesudah persalinan. Juga jabang bayi dalam rahim agar dicukupkan kesehatan dan kekuatannya supaya terlahir ke dunia dalam keadaan sehat sempurna.

Yang ketiga agar anak sulung saya tumbuh semakin cerdas dan mandiri. Juga supaya ia sayang kepada adiknya kelak bila sudah terlahir ke alam dunia. Mendidik dan membesarkan keduanya menjadi tugas yang takkan mudah bagi saya, sejak lahir hingga mereka dewasa nanti. Saya sungguh berharap agar mereka tak menemukan saya dalam keadaan marah barang sekalipun kepada mereka hingga saya ringan tangan kepada keduanya. Saya tak mau mereka merasakan ketakutan dan kepedihan yang pernah saya alami dahulu.

Bagaimana dengan harapan dalam karir? Saya hanya ingin menikmati semua prosesnya. Entah itu manis ataupun pahit. Karena bagi saya itu semua menjadi pengalaman berharga, sejauh saya menjalaninya dengan tetap memelihara kehormatan diri. Harta dan jabatan hanyalah pemanis saja. Yang terpenting, manisnya harta dan jabatan jangan sampai melenakan hingga merugikan diri sendiri, keluarga dan orang lain.

Satu atau dua tahun mendatang akan menjadi masa transisi yang menentukan dalam perjalanan hidup saya. Semoga saya bisa melaluinya dengan penuh kesabaran dan dukungan dari keluarga.

Pondok Aren, 29/9/17 09.35 WIB

My September Wish (Part 1)

Tahun-tahun belakangan ini, bulan September terasa lebih bersejarah, terutama dalam hal karir. Di seputaran bulan itu, ada semacam keputusan yang berulang saya ambil. Keputusan untuk berganti tempat kerja.

Kalau tak salah, tanggal 1 September 2013 saya putuskan untuk mutasi dari BTPN KCP Banjar ke KCP Ciputat. Padahal, saya bergabung dengan KCP Banjar sudah sejak 20 Januari 2011. Suasana dan rekan-rekan kerja juga sudah seperti keluarga sendiri. Tapi, keputusan itu toh akhirnya saya ambil demi bersatu dengan istri dan si Sulung.

Sejak September 2013, Ciputat juga menjadi rumah kedua saya. Tim BTPN KCP Ciputat yang ceria pun menjadi keluarga berikutnya bagi saya. Meski saya tak pernah menduganya, nyatanya saya berhasil bertahan di KCP Ciputat hingga kantor bersejarah itu ditutup yang kurang lebih bersamaan waktunya dengan keputusan saya mengakhiri karir di BTPN.

Saya rasa kalau tak salah, awal Oktober 2016 menjadi akhir kebersamaan Tim KCP Ciputat, sekaligus akhir karir saya di BTPN. Keputusan itu pun sebetulnya saya ambil pada bulan September tahun itu.

Lalu, kini keputusan serupa akan saya ambil kembali di tempat kerja terakhir ini, Mega Syariah KCP Bintaro. Setelah tertunda sebulan atas saran sejumlah pihak, saya kini tinggal menghitung hari dalam kebersamaan dengan tim KCP Bintaro. Empat bulan tentu saja bukan waktu yang lama untuk mengenal perusahaan dan tim ini. Tapi, pilihan toh sudah saya ambil, dan harus berakhir di akhir September ini.

Sekarang, saatnya saya menatap masa depan. Bila tak ada ralat, saya akan bergabung dengan KPU Depok. Hanya bantu-bantu sebenarnya, bahkan kabarnya salary pun jauh lebih rendah dari yang saat ini saya terima dari Mega Syariah. Tapi, di situ saya bisa mengambil kans peluang untuk melanjutkan menambah pengalaman dalam bidang politik. Toh, latar belakang pendidikan dan minat natural saya juga dalam bidang politik. Banyak cara yang lebih canggih sebetulnya bila motivasinya hanya ingin berpolitik. Namun saya memilih jalur saya sendiri, yang jujur saja akan sangat rumit sepertinya.

Nah, bulan September juga menjadi bulan yang spesial. Karena hari ini saya merayakan Hari Ibu milik ibu saya sendiri. 32 tahun yang lalu, pertama kalinya ia menyandang status sebagai ibu, setelah melahirkan anak sulungnya (saya).

To be continued…

Pondok Aren, 27/09/17 09.35 WIB

Takkan Lari Toilet Dikejar

Kegiatan paling menyita tenaga pada sesi pulang kampung kali ini ialah berlari. Padahal, tadinya tak pernah ada rencana olahraga lari. Memang bukan dalam rangka olahraga juga sih.

Saya coba urutkan dari kegiatan lari yang terkini. Ceritanya, kami sekeluarga sudah cukup tenang berada dalam bis AKAP dari Tasikmalaya menuju Lebak Bulus. Begitu keluar dari kawasan Terminal Tipe A Kota Tasikmalaya yang kondisinya setiap tahun hampir selalu sepi bak TPU, kendaraan bis yang kami tumpangi langsung berhadapan dengan antrian panjang kendaraan yang terkena macet.

Kemacetan menjadi penyakit — yang kian lama kian parah — yang harus kami derita setiap pulang-pergi dari dan menuju Banjar. Kondisi ini benar-benar terasa aneh, sebab dengan penambahan ruas jalur tol di mana-mana terbukti tak mampu mengatasi, atau minimal mengurangi, titik kemacetan. Alih-alih demikian, rasanya malah semakin bertambah.

Dahulu, perjalanan Jakarta-Bandung hanya makan waktu dua jam. Sementara itu, Jakarta-Banjar biasanya hanya butuh waktu tujuh jam perjalanan. Sekarang, waktu tempuh seperti ini tak pernah saya alami lagi.

Tak berapa lama sejak keluar dari kawasan terminal tadi, di tengah kemacetan ternyata sekonyong-konyong si Sulung bilang kalau ia ingin BAB. Inilah yang sudah kami kuatirkan sejak sebelum berangkat dari rumah neneknya di Banjar. Padahal, tak kurang begitu seringnya kami ingatkan utk BAB terlebih dahulu sebelum lakukan perjalanan pulang menuju Jakarta.

Nasi sudah menjadi bubur. Kita sedang berada di tengah kemacetan, dan si Sulung sudah memohon-mohon agar bisa mendapat waktu untuk BAB. Maka, saya pun mengalah demi kenyamanan dan kesehatannya. Segera saya ajak ia turun dari bis, lalu secepatnya saya segera susuri jalanan itu searah dengan arah bis menuju kawasan Ciawi.

Setelah setengah berlari, akhirnya sungguh beruntung karena sekitar 300 meter dari tempat kami turun tadi ternyata terdapat pom bensin. Segera saya cepat-cepat membawanya menuju toilet umum. Saya sadar bahwa saya tak punya banyak waktu.

Sesampainya di toilet, anak sulung saya sempat meminta maaf karena sudah merepotkan ayahnya. Anak yang baik. Saya pun luluh dan memberikan ia waktu agar leluasa menunaikan hajatnya yang mungkin sempat tertunda sedari tadi. Tak berapa lama hajatnya pun selesai. Alhamdulillah, misi terselesaikan.

Sejurus kemudian, saya pun harus segera menyelesaikan misi berikutnya, yaitu segera membawa kembali anak saya menuju bis AKAP tempatnya bundanya setengah cemas menunggu kami.

Keluar dari toilet umum, saya langsung edarkan pandangan saya mencari bis itu. Alhamdulillah, beruntung ternyata bis berwarna putih merah itu terlihat tepat di depan pom bensin tempat si sulung BAB. Tanpa menunggu aba-aba, saya segera gendong si sulung dan langsung berlari penuh agar segera mencapai keberadaan bis itu.

Ya, itulah kegiatan lari darurat yang saya lakoni sekian menit yang lalu. Kejadian lari lainnya terjadi sehari yang lalu.

Saya, anak sulung saya, dan sahabat saya berfoto di salah satu spot foto kawasan Situ Leutik, yang terletak di Desa Cibeureum, Kota Banjar, pada Sabtu (2/9)

Pagi hari sekitar jam 8 saya sempat mengajak istri dan adik-adik saya untuk berangkat menuju Tasikmalaya. Tadinya, kita berencana untuk menonton film nasional Warkop DKI di bioskop 21. Bioskop terdekat dari kota Banjar terletak di Kota Tasikmalaya. Jaraknya cukup jauh sebenarnya, akan tetapi umumnya tak mengurangi minat warga Banjar untuk menonton film kesayangan mereka di sana.
Berhubung kendaraan roda dua yang kami tumpangi tak cukup untuk mengangkut semua orang menuju Tasik, maka kami putuskan untuk sekedar berlari pagi di kawasan Situ Leutik, Banjar.
Adik saya dan istrinya berangkat terlebih dahulu menuju lokasi. Tak berapa lama, kami yang tersisa pun menuju lokasi yang sama, meski tak bisa membarengi adik saya yang telah lebih dahulu berangkat.

Sampai di lokasi, rupanya kami yang belakangan baru sadar bahwa adik saya yang berangkat lebih dulu tak terlihat di lokasi. Maka, saya pun dengan penuh kerelaan menawarkan untuk mencarinya dengan berlari mengelilingi Situ Leutik, dengan harapan dapat menemuinya di sisi yang lain.

Saya pun berlari denga semangat, tanpa tahu-menahu jarak trek lari yang mengelilingi Situ Leutik itu. Akibat langsung berlari tanpa pemanasan, tak butuh waktu lama untuk nafas saya terasa berat dan tersengal-sengal. Selain itu, di sisi yang lain pun saya masih tak dapat menemukan adik saya. Saya tetap lanjutkan berlari, hingga akhirnya menyelesaikan satu putaran lari di Situ Leutik. Saya benar-benar terkena batunya, sebab setelah satu putaran itu pun saya masih belum dapat menemukan adik saya.

Badan saya yang kelelahan langsung terasa sakit di beberapa titik. Seusai lari, saya segera memohon pada istri saya agar ia bersedia meminjamkan tenaganya untuk memijat saya sekembalinya kami ke rumah.

Jalan Raya Ciawi 03/09/17 12.51 WIB

Deodoran dan Sabun Anti Acne

Sambil menunggu hujan rintik-rintik berhenti, saya tanya kembali istri saya tentang rencana malam ini untuk membayar tagihan bulanan paket internet dan televisi berbayar langganan kita.

“Jadi!” tukasnya.

“Sekalian aku juga mau beli deodoran. Punyaku sudah habis,” tambahnya.

Jawaban dia langsung mengingatkan saya tentang barang yang telah lama saya pakai sejak masa remaja. Barang itu adalah deodoran. Barang yang bila tutupnya dibuka akan langsung memperlihatkan bentuk sebenarnya yang gundul dan basah – lengkap dengan sensasi dinginnya itu – memang sudah jadi peranti andalan untuk membantu kepercayaan diri saya.

Bahkan, saking lamanya mempengaruhi pikiran saya, sampai sekarang saya jadi merasa kurang nyaman dengan bau badan. Baik itu milik saya, apalagi milik orang lain. Bisa dibilang, saya ini seolah sudah terasingkan dengan bau khas makhluk Tuhan bernama manusia bila mengeluarkan keringat berlebih.

Selain itu, ada barang lain yang juga termasuk dalam daftar belanja saya sejak remaja. Sabun Anti Acne namanya. Sebagai remaja, saya juga menelan mentah-mentah iklan televisi yang jutaan kali berkampanye soal buruknya wajah manusia bila berjerawat, atau hanya sekedar terkena debu. Saking rendahnya kepercayaan diri saya, sampai-sampai saya pernah repot mencoba-coba krim anti jerawat sebagai senjata tambahan untuk menumpas “material jahat” bernama jerawat. Dari sekian banyak produk yang sudah saya coba, tak pernah ada satu pun yang berhasil mencegah jerawat tumbuh subur di permukaan wajah, leher bahkan hingga punggung saya. Jadi, semua iklan tadi bisa dipastikan menipu.

Meski begitu, tetap saja hingga kini saya masih tetap setia dengan kedua jenis produk itu. Seringnya sih karena saya lupa betapa sia-sianya menggunakan semua produk itu. Ini benar-benar jenis amnesia yang paling parah sepertinya.

 

Pondok Benda, 29/08/17 19.18 WIB

Nama Tengah Yang Terlupakan

Seperti para orang tua lainnya, kami pun mempersiapkan nama yang baik untuk calon buah hati kami. Memang bermacam-macam cara pemberian nama. Ada yang memberi nama anaknya berdasarkan gabungan unsur nama kedua orang tuanya; ada yang berdasarkan bulan kelahiran; ada yang sekedar mengikuti tren; atau ada juga yang menyelipkan harapan dan doa dalam sebuah nama yang disusun.

Berdasarkan pada pengalaman saat pemberian nama anak sulung kami, poin terakhir-lah yang menjadi pilihan saya dan istri saat menamai anak kami. Sebuah nama ialah pemberian pertama dari orang tua atas anaknya yang akan melekat terus sepanjang hayatnya. Jadi tentu saja cukup sakral.

Saya dan istri kini tengah menunggu kelahiran anak kami yang kedua, insya Allah dalam tiga bulan ke depan. Seperti pengalaman pada anak pertama, kini kami pun telah menyiapkan susunan nama dari jauh-jauh hari. Dalam hal ini, sepertinya kali ini saya yang lebih bersemangat.

Tapi ada satu masalah, saya sebenarnya telah menyiapkan dua nama — untuk bayi laki-laki maupun perempuan — namun kini saya lupa salah satu nama tengahnya. Lagi-lagi kebiasaan buruk itu kembali membuat masalah.

Sekitar dua bulan yang lalu, saya sudah menyelesaikan dua susunan nama itu. Tapi, beberapa hari yang lalu, setelah saya sempat berpikir untuk menuliskannya di blog ini, ternyata saya baru sadar kalau saya sudah melupakan satu nama tengahnya. Jadilah sudah tiga hari terakhir ini saya tak berhenti mengingat-ingat nama tengah yang terlupakan itu.

Nama untuk bayi perempuan sudah tak perlu dirisaukan. Saya sudah mengingatnya dengan baik. Nama itu ialah Aozora Birru Itsna. Ini masih rencana tentu saja, tapi saya rasa sudah cukup bagus. Kendati memang kemarin istri saya — demi mengobati kebingungan saya yang lagi-lagi “amnesia” — sempat memberi beberapa alternatif susunan nama baru.

Ia sempat mengusulkan tiga nama baru untuk anak perempuan — yang hanya merubah nama akhirnya saja. Inilah nama-nama usulannya: Aozora Birru Samiya, Aozora Birru Fauziah, dan Aozora Birru Raesha.

Tetap saja nama-nama baru ini tak bisa mengobati kebingungan saya karena telah melupakan sebuah nama tengah. Sebabnya ialah, nama tengah yang saya lupakan itu justru untuk nama anak laki-laki.

Jadi, inilah nama bayi laki-laki yang sempat saya susun, namun kini saya lupa nama tengahnya: Eiji [nama tengah] Sutisna.

Seingat saya, nama anak laki-laki yang sudah saya susun seharusnya cukup indah. Apalagi saya menambahkan nama almarhum kakek saya, Sutisna, sebagai nama belakangnya.

Kini saya benar-benar kehilangan ide untuk mengembalikan ingatan saya tentang nama tengah itu. Semoga belum terlambat untuk mengingatnya, bila saja ternyata nanti anak kedua kami ternyata seorang laki-laki.

Pondok Benda, 14/08/17 07.03 WIB